Kebahagiaan
Tiba-tiba
teringat perjalananku beberapa waktu yang lalu ke Bantul bersama
sahabat-sahabat SMA ke rumah sahabat kami yang baru saja kehilangan ayah
tercintanya untuk selama-lamanya. Dalam perjalanan dari sukoharjo kami
ngobrol-ngobrol tentang banyak hal. Walau dalam hati muncul perasaan yang
bercampur. Sedih, senang karena bisa bertemu sahabat lama dan sebuah
pertanyaan, ‘apa hikmah dari kejadian ini?’. Lalu kami mampir di Klaten untuk
menjemput sahabat kami dan sholat jumat. Berhenti sejenak untuk mengajak
sahabat kami yang paling cantik hari itu di Jogja, lalu menuju Bantul. Dalam
perjalanan kami ngobrol, bercanda dan bercerita banyak hal walau ada perasaan
sedih yang tersimpan.
Sampai
di rumah duka upacara pemakaman baru dimulai, kami tepat waktu. Kami melihat
dari jauh sahabat kami sedang berdiri dibelakang seorang perwira TNI yang
memberi sambutan, almarhum adalah seorang purnawirawan TNI. Seorang pahlawan
yang mengorbankan jiwa raganya untuk merebut Timor-Timur pada tahun70-an. Dari
wajah sahabat kami terlihat kesedihan yang sangat. Belum pernah saya lihat
kawan saya berwajah seperti itu. Upacara berlangsung lancar, kemudian jenazah
dibawa ke makam untuk dimakamkan. Saat jenazah melintas di depan kami, dengan
ditandu 6 atau 8 orang tentunya, kawan kami berjalan didepan kami. Tanpa
menyapa, hanya wajah sedih yang tempak. Dia membelai pundak adik laki-lakinya.
Kami memaklumi, kamipun tidak berusaha menyapa. Tiga sahabatku mengikuti
rombongan pengantar jenasah untuk mendekati kawan kami yang berduka,
meninggalkanku bersama sobat kami yang tercantik hari itu.
Dari
kejauhan saya melihat tiga sahabatku menghibur kawan kami yang berduka. Kami
berdua memahami apa yang mereka lakukan walau tak tau apa yang mereka katakan.
Berdua kami membicarakan tentang perasaan kawan kami. Kami tahu bagaimana
hubungan kawan kami dengan ayahnya. Mereka sangat akrab. Bahkan almarhumlah
yang selalu memberi semangat kepada kawan kami tentang segala hal. Dia adalah
harapan, impian dan kebanggan almarhum yang 100% menjalankan semua amanah
almarhum. Bahkan almarhum dekat dengan kami, sahabat-sahabat dari anaknya.
Beliau sering memberi nasehat, bercanda dan arahan kepada kami. Sungguh ayah
yang hebat.
Pemakaman
berlangsung lancar, para pelayat pulang. Kawan kami masih berada di makam,
berbicara kepada adik laki-lakinya. Seorang laki-laki mendekati kami, beliau
paman kawan kami. Mempersilahkan kami untuk duduk sambil menunggu kawan kami.
Kami
ngobrol di bawah tenda. Pertemuan yang kedua bagiku setelah beberapa tahun.
Beberapa bulan lalu kami bertemu saat perkawinannya. Kawan kami bercerita
tentang kronologi sebelum kematian almarhum dan bagaimana dia menerima kabar
itu. Tampak kesedihan, kekecewaan karena belum sempat membawa cucu dan
kekesalan karena masalah ijin dari kesatuan. Kami menghibur semampu kami.
Setelah menemui ibu dan istri kawan kami, kami ngobrol lagi. Kali ini dengan
suasana yang berbeda, nampaknya kehadiran kami memberi kebahagiaan bagi sahabat
kami. Senyum sudah menghiasi wajah kawan kami, wajah-wajah bahagia memancar
dari diri kami.
Kawan
kami bercerita, bahwa kehadiran sahabat-sahabatnya telah memberi semangat
baginya hari itu. ‘Kalianlah yang selalu memberi semangat saya’. ‘Kalian hadir
di pernikahanku, saat kawan-kawan kesatuan dan angkatanku tak bisa hadir’.
‘Kalianlah yang selalu saya ceritakan kepada anak buah untuk memberi
inspirasi’. Kami tersenyum, kaget dan bahagia. Bahagia karena bisa berarti bagi
sahabat kami.
Seorang
kawan melihatku dan berkata, ’kamu yang ngomong ke Arif ya?’. Aku paham maksudnya.
Aku mengatakan beberapa hal, aku belum pernah mengalami hal ini sebelumnya. Aku
tak berusaha untuk memahami perasaan kawan kami, karena aku tak tahu dan tidak
mau sok tahu. Kata-kata yang kuucapkan bukanlah kata-kata yang bagus menurutku.
Karena aku tak mau berkata-kata manis yang sebenarnya hanyalah omong kosong
karena rasa ‘pekewuh’. Aku lebih memilih berkata apa yang ada dalam hatiku,
berusaha untuk jujur. Jujur dari dalam hati seorang sahabat.
Saat
berpamitan kami berjalan menuju mobil diantar kawan kami. Dia lebih bahagia,
senyumnya tambah lebar dan tawanya semakin keras. Kami senang, merasa berarti
bagi sahabat kami yang berduka. Obrolan kembali bergema dan canda kembali
berirama. Kawan kami menitip pesan, saya minta nomor HPnya. Kami pulang, tampak
lagi wajah sedih itu dari kaca spion.
Dalam
perjalanan pulang, kami ngobrol. Ada rencana liburan ke Bromo yang dibahas, aku
terdiam. Aku tidak merasa ini atau sedih karena tidak bisa ikut dalam rencana
itu. Kawan-kawan juga memahami, berusaha untuk tidak menyinggungku. Aku tak
merasa tersinggung. Aku hanya berfikir dalam hati.
Apa
kebahagiaan itu? Bisa jalan-jalan? Punya uang? Punya pacar atau pekerjaan?
Kembali aku teringat kawan kami yang kehilangan ayahnya. Dia bahagia saat kami
datang, rasa sedihnya hilang dalam obrolan dan canda. Kebahagiaan yang tulus
dari hati, yang mungkin tak pernah dia rencanakan atau impikan.
Apakah
aku akan bahagia kalo sudah bisa jalan normal? Kalo sudah punya uang? Punya
pacar dan pekerjaan? Apa aku tidak bahagia saat ini? Aku bahagia.
Bertemu
sahabat-sahabat lama, bepergian ke Bantul, ngobrol dan bercanda. Apa lagi yang
kurang? Kakiku yang masih belum sembuh? Ah, aku tak mau mengeluh tentang
sakitku. Tidak berguna bagiku dan siapa saja.
Saat
itu aku menyadari bahwa kebahagiaan itu berada di Hati. Saat kita bisa
mensyukuri, memberi perhatian pada sekitar kita, berusaha jujur tentang
perasaan kita, memberi manfaat bagi sekitar kita maka rasa bahagia itu akan
muncul di hati.
Aku
jarang membaca buku atau menonton acara motivasi di TV. Aku juga bukan
penggemar motivator yang pandai berkata-kata. Tetapi, perjalanan itu memberiku
inspirasi bahwa bahagia itu bukan dari luar diri kita. Bahagia berada di dalam
hati kita.
Kawan,
tulisan ini hanya sekedar ringkasan perjalanan kita ke bantul. Sebagai rasa
terima kasihku kepada kalian karena telah memberiku kebahagiaan. Telah
mengijinkan aku menjadi bagian dari kalian. Dan memberi semangat saat aku msih
berjuan untuk kesembuhanku. Semoga kita selalu menjaga persahabatan ini sampai
akhir umur kita nanti.
Sukoharjo, 9 November 2013.
Wunendro Anas Wibowo