Minggu, 01 Desember 2013

Kebahagiaan
            Tiba-tiba teringat perjalananku beberapa waktu yang lalu ke Bantul bersama sahabat-sahabat SMA ke rumah sahabat kami yang baru saja kehilangan ayah tercintanya untuk selama-lamanya. Dalam perjalanan dari sukoharjo kami ngobrol-ngobrol tentang banyak hal. Walau dalam hati muncul perasaan yang bercampur. Sedih, senang karena bisa bertemu sahabat lama dan sebuah pertanyaan, ‘apa hikmah dari kejadian ini?’. Lalu kami mampir di Klaten untuk menjemput sahabat kami dan sholat jumat. Berhenti sejenak untuk mengajak sahabat kami yang paling cantik hari itu di Jogja, lalu menuju Bantul. Dalam perjalanan kami ngobrol, bercanda dan bercerita banyak hal walau ada perasaan sedih yang tersimpan.

            Sampai di rumah duka upacara pemakaman baru dimulai, kami tepat waktu. Kami melihat dari jauh sahabat kami sedang berdiri dibelakang seorang perwira TNI yang memberi sambutan, almarhum adalah seorang purnawirawan TNI. Seorang pahlawan yang mengorbankan jiwa raganya untuk merebut Timor-Timur pada tahun70-an. Dari wajah sahabat kami terlihat kesedihan yang sangat. Belum pernah saya lihat kawan saya berwajah seperti itu. Upacara berlangsung lancar, kemudian jenazah dibawa ke makam untuk dimakamkan. Saat jenazah melintas di depan kami, dengan ditandu 6 atau 8 orang tentunya, kawan kami berjalan didepan kami. Tanpa menyapa, hanya wajah sedih yang tempak. Dia membelai pundak adik laki-lakinya. Kami memaklumi, kamipun tidak berusaha menyapa. Tiga sahabatku mengikuti rombongan pengantar jenasah untuk mendekati kawan kami yang berduka, meninggalkanku bersama sobat kami yang tercantik hari itu.

            Dari kejauhan saya melihat tiga sahabatku menghibur kawan kami yang berduka. Kami berdua memahami apa yang mereka lakukan walau tak tau apa yang mereka katakan. Berdua kami membicarakan tentang perasaan kawan kami. Kami tahu bagaimana hubungan kawan kami dengan ayahnya. Mereka sangat akrab. Bahkan almarhumlah yang selalu memberi semangat kepada kawan kami tentang segala hal. Dia adalah harapan, impian dan kebanggan almarhum yang 100% menjalankan semua amanah almarhum. Bahkan almarhum dekat dengan kami, sahabat-sahabat dari anaknya. Beliau sering memberi nasehat, bercanda dan arahan kepada kami. Sungguh ayah yang hebat.

            Pemakaman berlangsung lancar, para pelayat pulang. Kawan kami masih berada di makam, berbicara kepada adik laki-lakinya. Seorang laki-laki mendekati kami, beliau paman kawan kami. Mempersilahkan kami untuk duduk sambil menunggu kawan kami.

            Kami ngobrol di bawah tenda. Pertemuan yang kedua bagiku setelah beberapa tahun. Beberapa bulan lalu kami bertemu saat perkawinannya. Kawan kami bercerita tentang kronologi sebelum kematian almarhum dan bagaimana dia menerima kabar itu. Tampak kesedihan, kekecewaan karena belum sempat membawa cucu dan kekesalan karena masalah ijin dari kesatuan. Kami menghibur semampu kami. Setelah menemui ibu dan istri kawan kami, kami ngobrol lagi. Kali ini dengan suasana yang berbeda, nampaknya kehadiran kami memberi kebahagiaan bagi sahabat kami. Senyum sudah menghiasi wajah kawan kami, wajah-wajah bahagia memancar dari diri kami.

            Kawan kami bercerita, bahwa kehadiran sahabat-sahabatnya telah memberi semangat baginya hari itu. ‘Kalianlah yang selalu memberi semangat saya’. ‘Kalian hadir di pernikahanku, saat kawan-kawan kesatuan dan angkatanku tak bisa hadir’. ‘Kalianlah yang selalu saya ceritakan kepada anak buah untuk memberi inspirasi’. Kami tersenyum, kaget dan bahagia. Bahagia karena bisa berarti bagi sahabat kami.

            Seorang kawan melihatku dan berkata, ’kamu yang ngomong ke Arif ya?’. Aku paham maksudnya. Aku mengatakan beberapa hal, aku belum pernah mengalami hal ini sebelumnya. Aku tak berusaha untuk memahami perasaan kawan kami, karena aku tak tahu dan tidak mau sok tahu. Kata-kata yang kuucapkan bukanlah kata-kata yang bagus menurutku. Karena aku tak mau berkata-kata manis yang sebenarnya hanyalah omong kosong karena rasa ‘pekewuh’. Aku lebih memilih berkata apa yang ada dalam hatiku, berusaha untuk jujur. Jujur dari dalam hati seorang sahabat.

            Saat berpamitan kami berjalan menuju mobil diantar kawan kami. Dia lebih bahagia, senyumnya tambah lebar dan tawanya semakin keras. Kami senang, merasa berarti bagi sahabat kami yang berduka. Obrolan kembali bergema dan canda kembali berirama. Kawan kami menitip pesan, saya minta nomor HPnya. Kami pulang, tampak lagi wajah sedih itu dari kaca spion.

            Dalam perjalanan pulang, kami ngobrol. Ada rencana liburan ke Bromo yang dibahas, aku terdiam. Aku tidak merasa ini atau sedih karena tidak bisa ikut dalam rencana itu. Kawan-kawan juga memahami, berusaha untuk tidak menyinggungku. Aku tak merasa tersinggung. Aku hanya berfikir dalam hati.

            Apa kebahagiaan itu? Bisa jalan-jalan? Punya uang? Punya pacar atau pekerjaan? Kembali aku teringat kawan kami yang kehilangan ayahnya. Dia bahagia saat kami datang, rasa sedihnya hilang dalam obrolan dan canda. Kebahagiaan yang tulus dari hati, yang mungkin tak pernah dia rencanakan atau impikan.

            Apakah aku akan bahagia kalo sudah bisa jalan normal? Kalo sudah punya uang? Punya pacar dan pekerjaan? Apa aku tidak bahagia saat ini? Aku bahagia.

            Bertemu sahabat-sahabat lama, bepergian ke Bantul, ngobrol dan bercanda. Apa lagi yang kurang? Kakiku yang masih belum sembuh? Ah, aku tak mau mengeluh tentang sakitku. Tidak berguna bagiku dan siapa saja.

            Saat itu aku menyadari bahwa kebahagiaan itu berada di Hati. Saat kita bisa mensyukuri, memberi perhatian pada sekitar kita, berusaha jujur tentang perasaan kita, memberi manfaat bagi sekitar kita maka rasa bahagia itu akan muncul di hati.

            Aku jarang membaca buku atau menonton acara motivasi di TV. Aku juga bukan penggemar motivator yang pandai berkata-kata. Tetapi, perjalanan itu memberiku inspirasi bahwa bahagia itu bukan dari luar diri kita. Bahagia berada di dalam hati kita.

            Kawan, tulisan ini hanya sekedar ringkasan perjalanan kita ke bantul. Sebagai rasa terima kasihku kepada kalian karena telah memberiku kebahagiaan. Telah mengijinkan aku menjadi bagian dari kalian. Dan memberi semangat saat aku msih berjuan untuk kesembuhanku. Semoga kita selalu menjaga persahabatan ini sampai akhir umur kita nanti.

Sukoharjo, 9 November 2013.




Wunendro Anas Wibowo

PERANG


Kalau di ingat-ingat, dunia memulai tahun 1990an dengan perang teluk. Bahkan, sebelumnya pada era 80-an juga terjadi perang. Antara Iraq vs iran, uni soviet vs afganistan, dan perang Vietnam di era 60-70an. Semenjak perang dunia ke 2¸ hamper selalu terjadi perang dalam periode 10 tahunan. Bahkan di era setelah perang teluk ke 2 antara As vs Iraq, ada perang panama, perang Somalia, perang bosnia dan beberapa perang yg dilakukan secara sembunyi-sembunyi oleh beberapa tentara barat.
Setelah serangan 11 september, kita jelas melihat perang melawan terror yg dimulai AS dengan menyerang afganistan yg dilanjutkan perang teluk ke 3. Belum lagi perang yang di kumandangkan tentara rusia melawan pemberontakan di bakas negara USSR yang mencoba untuk merdeka.
Yang paling terkini, saat dunia memasuki 2011, perang libia dimulai. Perang yang klaim untuk menegakkan demokrasi di negara yang selama 41 tahun dipimpin oleh sorang kolonel. Perang yang dinilai “hanya” untuk minyak. Tapi bukankah alasan itu juga yang jadi tujuan perang teluk 1, 2 bahkan yang ke 3?
Tulisan ini bukan untuk menganalisa alasan dan sebab perang-perang itu dijalankan, saya masih belum cukup punya data untuk mendukungnya. Tapi saya hanya mengajak anda yang membaca tulisan ini berfikir. Bahwa selama lebih dari 50 tahun dejak perang dunia ke 2 dimulai, dunia ini belum pernah “libur” dari perang. Tidak pernah dalam masa 10 tahun, tidak ada peluru yang ditembakkan, rudal diluncurkan atau bom dijatuhkan  selain untuk membunuh sesama manusia.
Dunia pernah meradakan dahsyatnya perang dunia pertama dan membentuk badan untuk menjaga perdamaian yang di sempurnakan setelah perang dunia kedua. Tapi, perang tetap berlangsung. Pembantaian masih terjadi, anak-anak  masih kehilangan ayah mereka. Ibu-ibu msih menangisi kematian putranya.
Kapan berbagai macam perang ini akan selesai?

pernah dimuat di akun Fb saya.

Tulisan yang memberi persepsi


Berikut ini saya memposting sebuah tulisan dari seorang tokoh yang terkenal. Bahkan saat saya menjadi anggota ROHIS SMAN 1 SUKOHARJO, sering membaca tulisan kalo tokoh ini darahnya halal. Wajib dibunuh karena merusak islam dengan islam liberal. hehehe.... dulu juga sempat membenci, tp setelah membaca beberapa tulisan tokoh ini & membaca tweetnya, rasa benci itu hilang. Ya, tokoh itu bernama Ulil Absyar Abdalla.

berikut adalah tulisan yang menurut saya mencerahkan. Cerdas dalam menyampaikan fakta & membuka pandangan baru ttg fatwa.

Hukum, Fatwa, dan Ahmadiyah

Fatwa harus secara tegas dibedakan dengan hukum. Keduanya tak boleh dicampuradukkan. Fatwa adalah pendapat hukum yang dikeluarkan oleh ulama atau sarjana yang mempunyai keahlian dalam hukum Islam. Orang yang mengeluarkan fatwa disebut mufti. Fatwa sama sekali tak mengikat. Kedudukannya persis seperti pendapat medis yang dikeluarkan dokter. Seorang pasien biasa mencari pendapat kedua dan seterusnya sebagai perbandingan. Begitu pula dalam fatwa: seseorang yang tak puas dengan fatwa A bisa mencari ulama lain untuk memperoleh fatwa B. Dalam Islam, ada semacam "pasar bebas fatwa" yang memperlihatkan betapa cairnya diskursus agama, tidak seperti dibayangkan oleh kalangan fundamentalis dan konservatif yang cenderung ingin "membekukan" situasi yang cair itu. Setiap orang bebas memberikan vote of confidence kepada fatwa tertentu atau mencabutnya. Fatwa yang mendapat dukungan luas akan menjadi semacam standar normatif. Fatwa yang tak laku di pasaran akan gugur dengan sendirinya.Tapi, pada akhirnya, tak ada sebuah fatwa yang benar-benar diikuti oleh semua penganut agama Islam. Tidak seperti agama Katolik, Islam sama sekali tidak mengenal otoritas puncak yang memegang hak tunggal untuk memberikan kata putus. Dalam Islam, klerikalisme sama sekali tak dikenal. Struktur sosial Islam lebih mirip agama Protestan yang bersifat "poliarkis", yang kekuasaannya tersebar ke segala penjuru. Dalam Islam tak ada "paus" atau "Vatikan". Sebuah fatwa bisa saja dibantah oleh fatwa lain. Dalam hukum Islam, sejumlah pendapat hukum (baca: fatwa) tidak bisa saling membatalkan (al-ijtihad la yunqadlu bi al-ijtihad). Fatwa ulama A hanyalah salah satu di antara lusinan fatwa yang lain; masing-masing berhak ada dan tak bisa saling membatalkan. Perkara umat percaya pada salah satu fatwa, itu urusan lain.

Hukum sama sekali berbeda watak: ia bersifat mengikat dan universal, dalam pengertian berlaku untuk semua warga negara dalam batas-batas geografi tertentu. Hukum muncul ke permukaan melalui proses "penetapan politik" (enactment) dalam parlemen. Ia kurang-lebih mencerminkan konsensus normatif yang berlaku dalam masyarakat. Karena ia berlaku universal, hukum tidak mengenal batas-batas sektarian. Hukum selayaknya berlaku untuk semua pemeluk agama. Tentu hukum tidak lahir dalam ruang sosial yang kosong. Hukum bisa saja diilhami oleh norma yang berlaku dalam masyarakat.

Jika sebuah fatwa bisa dianggap sebagai cerminan dari aspirasi normatif yang berlaku dalam masyarakat, ia bisa saja mengilhami rumusan sebuah hukum. Tapi batas antara fatwa dan hukum tetap tak bisa dikaburkan. Fatwa adalah urusan rumah tangga suatu komunitas agama tertentu. Ia ibarat kepompong yang sangat terbatas. Jika fatwa hendak melampaui kepompongnya sendiri dan ingin menjadi hukum yang berlaku universal, ia harus menjalani uji publik serta harus pula melampaui proses penting, yakni penetapan politik lewat parlemen. Hanya gara-gara didukung ayat suci, fatwa tidak bisa meminta "jatah gratis" menjadi hukum. Karena itu, fatwa Majelis Ulama Indonesia tentang sesatnya sekte Ahmadiyah adalah urusan rumah tangga umat Islam sendiri.

Negara sama sekali tidak diikat oleh hukum itu. Tugas pemerintah bukan ikut-ikutan menyokong pendapat kelompok itu untuk memberangus keberadaan kelompok lain. Dalam silang-sengketa doktrinal yang biasa terjadi dalam sebuah agama, pemerintah tak boleh menjadi partisan. Tugas pemerintah adalah seperti 'polisi lalu lintas" yang menjaga agar semua anggota masyarakat menikmati kebebesan melaksanakan keyakinan mereka masing-masing. Syukur-syukur negara bisa bertindak lebih jauh lagi, yakni mendorong dialog antarsekte atau antaragama. Kalaupun tak sanggup mencapai tahap ini, pemerintah cukup melakukan pekerjaan yang minimal saja: menjaga kebebasan berkeyakinan semua kelompok tanpa pandang bulu.

Ini semua adalah kebenaran sederhana yang semestinya diketahui semua pihak. Tapi arus konservatisme yang sekarang meruyak dalam tubuh umat Islam tampaknya membuat banyak orang mengalami miopia atau kekaburan pandangan. Ada pihak yang mengatakan bahwa Ahmadiyah tidak bisa ditoleransi, karena mereka mengaku Islam, tapi tidak mengikuti doktrin standar dalam agama itu. Hanya ada dua jalan: kembali ke "jalan yang benar" atau keluar dari Islam sama sekali. Pandangan ini memiliki kelemahan mendasar. Pertama, sesat-tidaknya sebuah sekte biasanya bersifat relatif; tentu sekte tertentu sesat dalam pandangan sekte yang lain. Setiap tindakan menyesatkan biasanya mengandung elemen politis, yakni kehendak sekte tertentu untuk menggusus pengaruh sekte lain yang dianggap pesaing.

Kedua, kalaupun sekte tertentu dianggap sesat dalam sebuah agama, ia bisa saja kehilangan "ruang hidup" sebagai warga agama melalui proses ekskomunikasi, misalnya. Tapi ia tak kehilangan ruang hidup sama sekali sebagai warga negara. Hukum melindungi ruang hidup untuk semua warga negara tanpa melihat ikatan sektarian. Karena itu, kebebasan beragama dan keyakinan berlaku tanpa pandang bulu. Fatwa penyesatan hanya sebatas menutup ruang hidup warga agama, tapi bukan warga negara. Lagi pula fatwa itu bisa dibantah dengan fatwa lain. Sekali lagi, fatwa dan hukum harus dipisahkan.

Jika negara diperbolehkan menentukan mana kepercayaan yang lurus dan mana yang bengkok, di sini kita membiarkan pengaburan batas antara fatwa dan hukum. Tugas negara adalah menegakkan hukum yang berlaku untuk semua golongan, bukan fatwa yang sifatnya partikular. Negara yang menjadi alat sekte tertentu untuk mengadili iman sekte lain adalah negara abad pertengahan yang tak layak lagi dipertahankan saat ini. Tampaknya, sejumlah kelompok dalam Islam mencoba menggiring negara ke arah yang sama sekali berbahaya ini.

Oleh : Ulil Abshar Abdalla - Mahasiswa PhD Uniersitas Harvard dan peneliti di Freedom Institute Jakarta


Selamat membaca dan mengambil manfaat dari tulisan di atas.

tulisan ini pernah dimuat di akun facebook saya.

Rabu, 28 September 2011

memulai blog.

bismillah.
blog ini aku mulai dengan bismillah, semoga menjadi berkah bagi diriku.
sebenarnya dulu pernah punya, tapi sudah kadaluarsa.

blogging adalah hobi yg coba aku tekuni.

karena kadang banyak ide di kepala yg tak cukup dicurahkan di socmed. setelah membaca beberapa artikel, kuputuskan untuk nge-blog.

mungkin bahasaku agak aneh, bhs ind berantakan bhs jawa tak lancar bahkan bahasa inggrispun masih tak sesuai grammar.

tapi semoga dengan blog ini aku dapat memperbaiki bahasaku yang "pating pechothot".

sekali lagi. Bismillah.